Kesenian Kentongan Guno Tengoro
Kesenian 19.49

GUNO TENGORO, Menebus Rindu Masa Lalu dengan Musik Kentongan
Suara tetabuhan kentongan terdengar dari Rumah Mulyanto Senggung (45) di Dukuh Jantran, Desa Pilang, Kecamatan Masaran, Kabupaten Sragen. Di rumah bergaya Joglo khas desa itu tampak sejumlah pemuda sedang memukuli tujuh kentongan kayu berukuran besar dan delapan kentongan bambu yang lebih kecil.

Itulah Guno Tengoro, kelompok musik kentongan tuwo yang dimotori oleh kelompok tani Gemah Ripah Loh Jinawi, asal dukuh Jantran Desa Pilang. Mereka sedang melakukan latihan rutin. Kelompok tani pimpinan Mbah Marijo (60) ini memang tengah berjuang membangkitkan kembali kesenian rakyat khas agraris. ‘’Para petani di desa kami sebenarnya memiliki banyak kesenian rakyat yang unik. Kami ingin nguri-uri agar tidak punah. Salah satunya musik kentongan,’’ kata Marijo.
Disebut musik kentongan tuwa lantaran perangkat kentongan yang digunakan telah berumur puluhan tahun. Ukurannya pun istimewa. ‘’Kentongan kebanggaan kami yang tertua dan terbesar berumur 200 tahun dan difungsikan sebagai bas,’’ kata Senggung. Benar saja, suara menggelegar terdengar saat kentongan dengan berat nyaris sekwintal dan tinggi lebih dari 2 meter itu ditalu dengan sebatang kayu.
Sebagai sebuah grup musik, umur Guno Tengoro memang masih belia lantaran baru saja dibentuk bulan Oktober silam. Namun, warga Desa Pilang sudah lama mengenal seni tabuh kentongan. Di masa lalu, tetabuhan –klothekan dalam bahasa setempat-- kentongan dilakukan saat hajatan panen raya dan sedekah bumi, yang kemudian ditutup dengan gelar wayang kulit.
Guno Tengoro dibentuk dengan semangat melakukan konservasi atas ragam kesenian lokal khas masyarakat agraris. Tak heran, jika dalam pertunjukannya mereka ingin menceritakan siklus perjalanan padi. Guno Tengoro ingin mengingatkan khalayak luas tentang perjuangan kaum tani di Indonesia dan menggugah rasa hormat terhadap tanaman padi. Langgam jawa yang dilantunkan pun berkisah tentang masa-masa suilit pangan di era kolonial (Langgam Caping Gunung), suasana pesta panen di lumbung desa (Langgam Lumbung Desa), ditumbuk kaum ibu dan disajikan untuk makan keluarga (Langgam Lesung Jumengglung), dan kisah padi yang mampu memenuhi kecukupan pakan dan kesejahteraan masyarakat (Langgam Jangan Koro).

Tak cuma itu, Guno Tengoro juga membawa misi edukasi historis dengan mengajak bernostalgi tentang peran kentongan di jamannya. Jauh sebelum teknologi informasi berkembang pesat seperti saat ini, kentongan memiliki peran penting sebagai alat berkomunikasi dan penyampai isyarat yang mumpuni.
Maka, di tengah-tengah pertunjukan, Guno Tengoro selalu memperagakan jenis-jenis bunyi kentongan yang mengabarkan tentang suatu peristiwa. Kabar tentang banjir, maling kepergok, hewan ternak hilang, berita kematian, kebakaran, hingga kondisi aman dapat disampaikan dengan isyarat bunyi ketukan tertentu. Fungsinya mirip bahasa sandi dari alat Morse di kapal laut.
Bahkan, ini yang tidak diketahui banyak orang, bunyi kentongan dapat digunakan sebagai isyarat oleh kepala desa/ lurah untuk memanggil perangkat desa maupun warganya. Karakter kentongan yang fungsional itulah menjadi alasan bagi penamaan grup Guno Tengoro. Artinya berguna (Guno) sebagai penanda peristiwa (tengoro/tengara)
Johny Adhi Aryawan, dari Kantor Pariwisata, Investasi, dan Promosi Kabupaten Sragen menyebut seni musik kentongan ala Guno Tengoro sebagai media refleksi kaum tani untuk memahami hubungan unik antara manusia, alam, dan Allah SWT. ‘’Nilai filosofis dari seni musik kentongan menuntut adanya pemahaman atas keseimbangan relasi tiga unsur tersebut. Inilah kunci agar Tuhan tidak murka, alam tidak membawa bencana, dan hubungan silaturahim antar warga tetap terjaga mesra,’’ katanya.
Johny mengaku bangga dengan kreativitas dan inisiatif kaum tani di Dukuh Jantran, yang masuk dalam kawasan Desa Wisata Batik Pilang-Kliwonan. ‘’Kesenian Kentongan Tuwo ini dapat memperkaya ragam atraksi wisata di Desa Wisata Batik,’’ ujar penanggung jawab pengembangan Desa Wisata Batik khas Sragen itu. ‘’Kesenian rakyat ini, bila diberi kesempatan dan ruang ekspresi yang luas, pasti akan dapat bertahan lestari dan terus berkembang,’’sambungnya lagi.
Sebagai bentuk dukungan nyata, Kantor Pariwisata, Investasi, dan Promosi Kabupaten Sragen telah memfasilitasi Guno Tengoro tampil dalam Cultural Event World Herritage Cities-Solo International Ethnic Music di Istana Mangkunegaran Solo, 28 Okteober 2008. ‘’Pemkab juga akan terus melakukan pendampingan dan pembinaan agar kualitas karya dan penampilannya terus berkembang,’’ katanya.
JADILAH ORANG PERTAMA YANG MENGOMENTARI :
