Mudik Mengingatkan Manusia Kembali ke Asal
Artikel, Budaya, Utama 00.41

Tradisi ini menyadarkan manusia untuk ingat kepada kampung halaman. Sulitnya mendapatkan tiket, kepenatan yang tiada tara serta berdesakan di gerbong kereta seolah-olah menjadi bumbu sedap di kala mudik. Uang terkuras pun tidak masalah asalkan bisa sampai ke rumah. Yang penting, bisa pulang bertemu sanak saudara.
Alasan apa yang menyebabkan seseorang ingin mudik? Setidaknya ada dua faktor. Pertama, secara psikologis, manusia cenderung ingin kembali ke asalnya. Bersua bersama keluarga, sanak saudara, rekan muda, kolega, dan teman-teman lama. Jika dikaitkan dengan rutinitas sehari-hari, mudik bisa menjadi istirahat sejenak bagi mereka yang telah melakukan pengembaraan atau perantauan di kota. Badan juga butuh istirahat. Saat ini mudik juga sekaligus digunakan untuk berwisata mengistirahatkan dari kesibukan sehari-hari. Mudik berposisi sebagai jeda atas keletihan menjalani rutinitas kehidupan kota yang hampir tanpa koma.
Kedua, mudik menjadi panggilan diri untuk bersilaturahmi dan berinteraksi. Mudik menjadi legitimasi manusia dalam hubungan horizontalnya (antar manusia sesama manusia). Mudik juga digunakan untuk menunjukkan eksistensi diri. Penampilan yang menarik dengan segala pernik-perniknya kerap menyelimuti hiruk pikuk kepulangan para pemudik. Mereka ingin tampil wah di kampungnya. Ingin menaikkan stratifikasi sosial dan seterusnya.
Di sinilah mudik juga memiliki makna pemerataan. Uang yang menumpuk di kota-kota akan terbagi ke kampung. Ini suatu kesempatan bagi orang-orang desa untuk menerima uang dari kota. Hanya saja, yang kerap terjadi adalah mudik acap dijadikan sebagai ajang pamer kesuksesan, keberhasilan, dan kekayaan secara berlebihan. Kesombongan diri beserta sifat keakuan seolah-olah menjadi penyakit akut para perantauan, sehingga bisa menimbulkan distingsi-distingsi tertentu di masyarakat. Ini tentu lebih banyak menimbulkan aspek-aspek mubazir daripada keuntungannya.
Lebih jauh lagi, Mudik dan Lebaran sama-sama mengusung nuansa spiritual. Spiritual mudik tercermin dari keinginan manusia kembali kepada asalnya. Mudik mengingatkan kita kepada awal kejadian, bentuk pertama kali kita melihat dunia, dan mencenungi saat berada di kandungan ibu.
Melalui mudik, kita akan senantiasa ingat dengan asal mula diri. Mudik mengingatkan kita bahwa suatu waktu akan kembali ke titik nol (kematian). Betapa pun seseorang mengembara, melakukan perjalanan yang sangat jauh, bergerak dan terus berpindah-pindah, suka atau tidak suka, mau atau tidak mau, ia pasti akan kembali. Yakni, kembali ke haribaan Sang Pencipta.
Sementara itu, Idul Fitri menggiring manusia untuk kembali kepada kesucian (fitri). Idul Fitri juga berarti kembali berbuka, sementara secara substansial dimaknai kembali ke fitrah. Ini sebuah momentum untuk membersihkan diri dari segala onggok kotoran dan dosa dalam diri. Untuk itu, mari kita jadikan ritus mudik tahunan ini sebagai ajang refleksi diri, otokrtik, dan perenungan terhadap tindak tanduk kita selama ini. (N.Hart)
JADILAH ORANG PERTAMA YANG MENGOMENTARI :