USAHA BATU BATA DEMI KELANGSUNGAN HIDUP
Putatan, Utama 23.19
SRAGEN - Musim penghujan ini mungkin menguntungkan bagi petani ataupun peternak ikan yang sarat membutuhkan banyak aliran air untuk sawahnya atau kolam ikannya. Namun tak begitu dengan pewirausaha lainnya yang sangat membutuhkan terik matahari. Salah satunya, produsen batu bata dan genting yang dalam proses produksi bahan-bahan bangunan tersebut sarat membutuhkan terik matahari.
Adalah Suhadi (36), salah satu produsen batu bata yang telah menekuni usaha produksi batu bata kurang lebih 10 tahun di rumahnya. Ia mengikuti jejak orang tuanya yang telah lama bergelut dengan olahan tanah lempung ini. Ketika ditemui di rumah yang sekaligus menjadi bengkel kerjanya, bapak dua anak ini mengatakan, kini banyak pengrajin genting di kampungnya yang beralih menjadi pengrajin batu bata, termasuk juga dengan dirinya.
Memang sebagian besar warga di kampungnya, yakni Putatan, Kelurahan Kroyo, Kecamatan Karangmalang, Sragen ini menjadikan usaha produksi genting dan batu bata ini sebagai mata pencaharian pokok mereka. Seiring bertambahnya waktu, hanya sedikit warga yang bertahan membuat genting. Alasannya, untuk membuat genting, dibutuhkan tanah liat yang berkualitas. Bahan dasar genting itu kini sulit dijumpai. Lagipula, untuk menghasilkan genting berkualitas tinggi juga dibutuhkan kejelian dalam mengolah komposisi campuran bahannya. Lain halnya dengan bata. Selain proses pembuatannya lebih mudah, tanah yang digunakan relatif lebih mudah didapatkan.
“ Sekarang warga di kampung banyak yang berganti hanya membuat batu bata, karena untuk memproduksi genting, bahan bakunya adalah tanah liat yang berkualitas, yang sulit dicari ” jelasnya.
Bahan baku yang mudah didapat
Dengan mendapatkan bahan baku seperti tanah liat, sekam (brambut), abu, dan air seorang produsen batu bata mengawali proses produksi bahan bangunan ini. Tak ada kendala mendapatkan bahan baku batu bata, tambah Suhadi. Para petani sawah dengan senang hati menjual lapisan teratas tanah sawahnya untuk mengurangi ketinggian, hingga memudahkan air mengalir ke lahan tersebut. Dengan lahan yang mempunyai luas 200 m2 ini, setiap harinya dia bisa menghasilkan 500-700 batu bata di musim kemarau. Sementara, di musim hujan seperti sekarang, dia hanya bisa menghasilkan 300 batu bata saja.
Proses pembuatan batu bata relatif sederhana. Lempung yang masih keras dicampur dengan abu sisa pembakaran bata, dengan perbandingan 3:1. Lalu, disiram air secukupnya. Setelah melunak, diaduk dengan cangkul, lalu dimasukkan ke dalam mesin penggiling. Lempung yang telah lembut itu segera dicetak secara manual, dan ditata di atas tanah untuk dijemur. Setelah bata mentah cukup keras, sisi-sisi bata dirapikan. Selanjutnya, serahkan saja pada teriknya matahari, untuk menuntaskan proses pengeringan hingga siap dibakar. Di musim kemarau, bata betul-betul kering dalam waktu tujuh hari. Sedangkan pada musim hujan, setelah 10-15 hari bata mentah baru siap dibakar.
Menata bata mentah di dalam ‘tobong’ ternyata memiliki aturan tersendiri, tidak asal tumpuk saja. Jika diabaikan, bata bisa saja tak terbakar sempurna, atau bahkan gosong. Bata mentah ditata sedemikian rupa setinggi 2 m, dan diberi sela sepanjang 20 cm diantara tumpukan bata di sebelahnya. Ruang ini berfungsi untuk tempat kulit padi (brambut; jawa), yang menjadi bahan bakar utama pembakaran bata. Selama seminggu penuh, bata mentah terkurung dalam onggokan brambut panas. Brambut harus dikontrol kuantitas dan panasnya. Sekali obong, kata Suhadi , dibutuhkan 100 karung brambut untuk mematangkan 500- 700 keping bata.
Selain musim hujan, terrbatasnya ketersediaan brambut ketika musim tanam, menjadi kendala bagi kelangsungan produksi bata. Akibatnya, Suhadi harus kreatif menggunakan bahan substitusi, untuk membakar batanya. Tak ada brambut, kayu bakarpun jadi. “ Jika musim tanam, brambut sulit didapat, maka saya menggantinya dengan kayu bakar. Apalagi kayu bakar lebih murah dibandingkan dengan brambut” katanya.
Sebagai mata pencaharian pokok
Berawal dari mulut ke mulut, kini produk batu bata milik ayah dari dua anak ini sudah dikenal di seantero Sragen dan sekitarnya. Ia mematok satu keping bata dengan harga Rp. 450,00. Dia juga menyediakan jasa pengiriman batu bata yang mencapai 50.000,00 untuk dalam kota ataupun luar kota. Dengan mengumpulkan bahan-bahan pembuat batu bata seperti tanah lempung yang dibeli dengan harga Rp. 120.000,00 untuk produksi 3500 batu bata (produksi satu minggu), dan dicampur dengan abu yang diperoleh dengan harga Rp. 49.000,00. Dan yang paling membebani para pengusaha batu bata ini adalah sekam (brambut) yang setiap pembakarannya menghabiskan 100 sack dengan mencapai harga Rp. 1.000.000,00. Dalam seminggu memproduksi 3500 batu bata, dia bisa memperoleh keuntungan Rp. 406.000,00 tiap minggunya.
Usaha ini merupakan mata pencaharian pokok baginya dalam mencukupi kebutuhan keluarganya. Genting dan batu bata made in Kampung Putatan telah dikenal luas. Pemasarannyapun merambah hingga luar kota. Dengan mempertahankan kualitas, usaha ini mampu bertahan dari waktu ke waktu. “Semoga usaha saya ini bisa bertahan dengan saya mempertahankan kulaitas batu bata saya, karena memang dari usaha inilah saya bisa membiayai kebutuhan hidup keluarga saya” harapnya. (dyah)
Berawal dari mulut ke mulut, kini produk batu bata milik ayah dari dua anak ini sudah dikenal di seantero Sragen dan sekitarnya. Ia mematok satu keping bata dengan harga Rp. 450,00. Dia juga menyediakan jasa pengiriman batu bata yang mencapai 50.000,00 untuk dalam kota ataupun luar kota. Dengan mengumpulkan bahan-bahan pembuat batu bata seperti tanah lempung yang dibeli dengan harga Rp. 120.000,00 untuk produksi 3500 batu bata (produksi satu minggu), dan dicampur dengan abu yang diperoleh dengan harga Rp. 49.000,00. Dan yang paling membebani para pengusaha batu bata ini adalah sekam (brambut) yang setiap pembakarannya menghabiskan 100 sack dengan mencapai harga Rp. 1.000.000,00. Dalam seminggu memproduksi 3500 batu bata, dia bisa memperoleh keuntungan Rp. 406.000,00 tiap minggunya.
Usaha ini merupakan mata pencaharian pokok baginya dalam mencukupi kebutuhan keluarganya. Genting dan batu bata made in Kampung Putatan telah dikenal luas. Pemasarannyapun merambah hingga luar kota. Dengan mempertahankan kualitas, usaha ini mampu bertahan dari waktu ke waktu. “Semoga usaha saya ini bisa bertahan dengan saya mempertahankan kulaitas batu bata saya, karena memang dari usaha inilah saya bisa membiayai kebutuhan hidup keluarga saya” harapnya. (dyah)
JADILAH ORANG PERTAMA YANG MENGOMENTARI :