Jangan Malu Mengaku Wong Sragen
Artikel 21.34
Kabupaten Sragen memang tak setenar dan semegah Jakarta atau Surabaya. Ibukotanya pun hanya sebuah kota kecil, dengan nama sama, di ujung timur Provinsi Jawa Tengah bagian tengah. Kota Sragen hanya ramai di siang hari lantaran dilewati jalur lalu lintas Solo-Surabaya yang padat. Selepas azan Isya, biasanya toko-toko sudah tutup, dan kota pun sepi, seperti tak berpenghuni atau tengah didera larangan keluar malam.
Tak ada yang terlalu istimewa dari kota yang menjadi ibukota Kabupaten Sragen ini. Maka, kalaupun ada yang membuat Kabupaten Sragen tenar ke seantero jagad, paling-paling ialah situs dan museum benda-benda purbakala di Sangiran; tradisi seks bebas demi mencari pesugihan (kekayaan) secara magis di kawasan Gunung Kemukus yang kini telah menjadi ajang prostitusi terselubung; serta pelanggaran HAM oleh Orde Baru-Soeharto terhadap penduduk di sekitar (calon) Waduk Kedung Ombo.
Namun, alhamdulillah, sejak di bawah kepemimpinan Bupati Haji Untung Wiyono, Sragen terus menggeliat. Latar belakang Pak Untung yang entrepreneur sejati –memulai usaha betul-betul dari nol lengkap dengan episode jatuh-bangunnya— membuatnya terbiasa berpikir kreatif dan inovatif. Keterbatasan Kabupaten Sragen dalam sumber daya alam maupun potensi pendukung lainnya, tak membuatnya berkecil hati. Satu demi satu proyek unggulan pun muncul mengharumkan Sragen ke pentas nasional. Sebut misalnya proyek sentra padi dan pupuk organik, sistem pelayanan izin usaha satu pintu, dan sistem pelayanan publik yang transparan dan tertib, yang menjadi rujukan kota atau daerah lainnya. Bahkan kabupaten yang sama sekali tidak menghasilkan tanaman tembakau ini kini memiliki pabrik pelintingan rokok, yang mampu menyerap ribuan karyawan, hasil kerjasama dengan industri rokok raksasa Sampoerna.
Jalan-jalan di Sragen pun sekarang rata-rata bagus dan mulus. Bukan hanya telah di aspal, melainkan sebagian besar sudah menikmati aspal kualitas hotmix atau yang akrab dikenal warga setempat sebagai aspal goreng. Dan ini tak cuma di dalam kota atau pinggiran kota, tetapi sudah merangsek hingga desa-desa terpencil. Di jalan kabupaten menuju Kecamatan Jenar, salah satu kawasan terminus yang berbatasan langsung dengan Kabupaten Ngawi, Jawa Timur, misalnya, sudah sejak tahun lalu di-hotmix. Demikian pula banyak ruas jalan lainnya.
Sementara itu, penduduk Sragen yang sebagian besar menjadi perantau dan bekerja di sektor informal di kota-kota besar di Jawa dan luar Jawa, serta sebagian besar lainnya banyak yang menjadi TKI atau TKW di luar negeri, memberi pula sumbangan kebangkitan ekonomi yang cukup berarti bagi Kabupaten ini. Hasilnya, rumah-rumah permanen bergaya real estat, lengkap dengan garasi mobil, pun marak dibangun di desa-desa. Banyak perantau ini yang tak lagi puas memiliki simpanan kendaraan roda dua, tapi juga mobil cukup mewah –meski hanya dipakai beberapa kali setahun tatkala mereka mudik. Semangat gotong royong mereka pun masih terjaga relatif baik. Maka tak heran jika jalan-jalan perkampungan sekarang banyak yang sudah diaspal atau dicor dengan cara swasembada atau gotong royong tadi. Boleh percaya atau tidak, perkampungan di Sragen kini tampak lebih rapi, indah, dan sehat ketimbang perkampungan kumuh di Jakarta.
Karena itu, jangan khawatirkan urbanisasi penduduk Kabupaten Sragen. Mereka pergi ke kota besar sekadar untuk mengais rezeki. Anak dan istri serta domisili tetap di rumah: Sragen Asri. Maka justru sesat pikir jika Pemda Jakarta dari tahun ke tahun, seusai Lebaran, hendak memaksa pendatang baru ke kota ini berganti KTP Jakarta. Bupati kami, Pak Untung Wiyono, sendiri bahkan semula adalah juga wong cilik miskin. Beliau sukses menjadi pengusaha di Jakarta setelah sebelumnya terlunta-lunta menjadi kuli bangunan dan bekerja serabutan lainnya. Toh setelah sukses, ia pulang kembali ke kampung halaman dan betah di Sragen. Sebab yang menjadi persoalan adalah: bukan kami hendak mukim di Jakarta, tapi sekitar 80% rupiah hanya berputar-putar di Jakarta dan sekitarnya. Maka kadang hanya ada dua pilihan bagi segenap kaum pinggiran negeri ini: Datang ke Jakarta mengadu nasib atau sengsara abadi di kampung sendiri.
Dan orang-orang Sragen banyak yang seperti itu. Lihat saja mereka yang menjadi pengasong minyak wangi dan arloji di Bandara Soekarno-Hatta atau tukang ojek di kawasan Pasar Minggu, atau pedagang buah dengan gerobag di sekitar Ancol dan Pulogadung. Sebagian besar adalah warga Sragen. Dengan pekerjaan yang kesannya remeh temeh itu mereka rata-rata mampu mengirim 4-5 juta per bulan ke kampung halaman untuk menghidupi anak-istri. Jauh melebihi gaji rata-rata pegawai pemda. Maka tak mengherankan, sekarang ini justru rumah para PNS, pensiunan PNS, atau aparat pemerintah lainnya, yang terkesan kumuh di tengah rumah-rumah megah para perantau ini. Anak-anak para pekerja sektor informal ini pun pelan tapi pasti mengalami mobilitas vertikal: mulai banyak yang bisa menikmati pendidikan mencukupi dan kemudian bekerja sebagai bidan, guru, bintara TNI, bahkan kuliah di bangku perguruan tinggi atau masuk Akabri.
Walhasil, dengan segala kemajuan tadi, tak ada alasan lagi untuk malu mengaku sebagai warga Sragen. Selama ini lazim terjadi, anak-anak muda Sragen malu-malu mengakui jika dirinya asli Sragen. Apalagi kata Sragen memang terkesan asing di tengah kosa kata nama-nama kota lainnya di Jawa Tengah. Seolah-olah kata Sragen adalah bukan sebuah kata dalam khazanah bahasa Jawa...Biasanya anak-anak muda Sragen akan mengaku sebagai wong Solo atau asal Solo jika ditanya orang. Baru kemudian jika di-follow up-i dengan pertanyaan: Solonya mana? Maka Jawaban Sragen pun muncul. Bahkan kadang-kadang masih ditutup-tutupi dulu dengan imbuhan: Solo utara. Setelah dikejar Solo utaranya mana? Jawabnya: Sragen...alah-alah, mesake tenan hehe.(jarot)
Pengirim / Sumber : Jarot Doso
Email : jarot10@gmail.com
Tak ada yang terlalu istimewa dari kota yang menjadi ibukota Kabupaten Sragen ini. Maka, kalaupun ada yang membuat Kabupaten Sragen tenar ke seantero jagad, paling-paling ialah situs dan museum benda-benda purbakala di Sangiran; tradisi seks bebas demi mencari pesugihan (kekayaan) secara magis di kawasan Gunung Kemukus yang kini telah menjadi ajang prostitusi terselubung; serta pelanggaran HAM oleh Orde Baru-Soeharto terhadap penduduk di sekitar (calon) Waduk Kedung Ombo.
Namun, alhamdulillah, sejak di bawah kepemimpinan Bupati Haji Untung Wiyono, Sragen terus menggeliat. Latar belakang Pak Untung yang entrepreneur sejati –memulai usaha betul-betul dari nol lengkap dengan episode jatuh-bangunnya— membuatnya terbiasa berpikir kreatif dan inovatif. Keterbatasan Kabupaten Sragen dalam sumber daya alam maupun potensi pendukung lainnya, tak membuatnya berkecil hati. Satu demi satu proyek unggulan pun muncul mengharumkan Sragen ke pentas nasional. Sebut misalnya proyek sentra padi dan pupuk organik, sistem pelayanan izin usaha satu pintu, dan sistem pelayanan publik yang transparan dan tertib, yang menjadi rujukan kota atau daerah lainnya. Bahkan kabupaten yang sama sekali tidak menghasilkan tanaman tembakau ini kini memiliki pabrik pelintingan rokok, yang mampu menyerap ribuan karyawan, hasil kerjasama dengan industri rokok raksasa Sampoerna.
Jalan-jalan di Sragen pun sekarang rata-rata bagus dan mulus. Bukan hanya telah di aspal, melainkan sebagian besar sudah menikmati aspal kualitas hotmix atau yang akrab dikenal warga setempat sebagai aspal goreng. Dan ini tak cuma di dalam kota atau pinggiran kota, tetapi sudah merangsek hingga desa-desa terpencil. Di jalan kabupaten menuju Kecamatan Jenar, salah satu kawasan terminus yang berbatasan langsung dengan Kabupaten Ngawi, Jawa Timur, misalnya, sudah sejak tahun lalu di-hotmix. Demikian pula banyak ruas jalan lainnya.
Sementara itu, penduduk Sragen yang sebagian besar menjadi perantau dan bekerja di sektor informal di kota-kota besar di Jawa dan luar Jawa, serta sebagian besar lainnya banyak yang menjadi TKI atau TKW di luar negeri, memberi pula sumbangan kebangkitan ekonomi yang cukup berarti bagi Kabupaten ini. Hasilnya, rumah-rumah permanen bergaya real estat, lengkap dengan garasi mobil, pun marak dibangun di desa-desa. Banyak perantau ini yang tak lagi puas memiliki simpanan kendaraan roda dua, tapi juga mobil cukup mewah –meski hanya dipakai beberapa kali setahun tatkala mereka mudik. Semangat gotong royong mereka pun masih terjaga relatif baik. Maka tak heran jika jalan-jalan perkampungan sekarang banyak yang sudah diaspal atau dicor dengan cara swasembada atau gotong royong tadi. Boleh percaya atau tidak, perkampungan di Sragen kini tampak lebih rapi, indah, dan sehat ketimbang perkampungan kumuh di Jakarta.
Karena itu, jangan khawatirkan urbanisasi penduduk Kabupaten Sragen. Mereka pergi ke kota besar sekadar untuk mengais rezeki. Anak dan istri serta domisili tetap di rumah: Sragen Asri. Maka justru sesat pikir jika Pemda Jakarta dari tahun ke tahun, seusai Lebaran, hendak memaksa pendatang baru ke kota ini berganti KTP Jakarta. Bupati kami, Pak Untung Wiyono, sendiri bahkan semula adalah juga wong cilik miskin. Beliau sukses menjadi pengusaha di Jakarta setelah sebelumnya terlunta-lunta menjadi kuli bangunan dan bekerja serabutan lainnya. Toh setelah sukses, ia pulang kembali ke kampung halaman dan betah di Sragen. Sebab yang menjadi persoalan adalah: bukan kami hendak mukim di Jakarta, tapi sekitar 80% rupiah hanya berputar-putar di Jakarta dan sekitarnya. Maka kadang hanya ada dua pilihan bagi segenap kaum pinggiran negeri ini: Datang ke Jakarta mengadu nasib atau sengsara abadi di kampung sendiri.
Dan orang-orang Sragen banyak yang seperti itu. Lihat saja mereka yang menjadi pengasong minyak wangi dan arloji di Bandara Soekarno-Hatta atau tukang ojek di kawasan Pasar Minggu, atau pedagang buah dengan gerobag di sekitar Ancol dan Pulogadung. Sebagian besar adalah warga Sragen. Dengan pekerjaan yang kesannya remeh temeh itu mereka rata-rata mampu mengirim 4-5 juta per bulan ke kampung halaman untuk menghidupi anak-istri. Jauh melebihi gaji rata-rata pegawai pemda. Maka tak mengherankan, sekarang ini justru rumah para PNS, pensiunan PNS, atau aparat pemerintah lainnya, yang terkesan kumuh di tengah rumah-rumah megah para perantau ini. Anak-anak para pekerja sektor informal ini pun pelan tapi pasti mengalami mobilitas vertikal: mulai banyak yang bisa menikmati pendidikan mencukupi dan kemudian bekerja sebagai bidan, guru, bintara TNI, bahkan kuliah di bangku perguruan tinggi atau masuk Akabri.
Walhasil, dengan segala kemajuan tadi, tak ada alasan lagi untuk malu mengaku sebagai warga Sragen. Selama ini lazim terjadi, anak-anak muda Sragen malu-malu mengakui jika dirinya asli Sragen. Apalagi kata Sragen memang terkesan asing di tengah kosa kata nama-nama kota lainnya di Jawa Tengah. Seolah-olah kata Sragen adalah bukan sebuah kata dalam khazanah bahasa Jawa...Biasanya anak-anak muda Sragen akan mengaku sebagai wong Solo atau asal Solo jika ditanya orang. Baru kemudian jika di-follow up-i dengan pertanyaan: Solonya mana? Maka Jawaban Sragen pun muncul. Bahkan kadang-kadang masih ditutup-tutupi dulu dengan imbuhan: Solo utara. Setelah dikejar Solo utaranya mana? Jawabnya: Sragen...alah-alah, mesake tenan hehe.(jarot)
Pengirim / Sumber : Jarot Doso
Email : jarot10@gmail.com
JADILAH ORANG PERTAMA YANG MENGOMENTARI :
