BALITA LUMPUH LAYU: Jangankan Gerakkan Kaki, Angkat Kepala pun Tak Mampu
Katelan, Kesehatan, Pemerintahan, Tangen, Utama 00.28

Di depan rumah berdinding papan dan berlantai tanah itu berdiri sosok
lelaki setengah baya bertelanjang dada. Dia menyambut dengan senyum
ketika rombongan wartawan bertandang ke rumahnya di Dukuh Tengaran RT
017, Desa Katelan, Kecamatan Tangen, Sragen, Rabu (16/5/2012). Dari
dalam rumah tampak seorang perempuan tengah menggendong seorang anak
yang berumur hampir lima tahun. Ibu yang dikenal masyarakat setempat
dengan nama Paniyem, 40, menimang-nimang anaknya yang baru masuk angin.
Anak itu bernama Septa Rahmadani. Kendati umurnya sekitar 4 tahun, anak
bungsu pasangan Sukiyo, 45, dan Paniyem, 40, itu belum bisa bicara dan
berjalan. Untuk kebutuhan makan dan minumnya selalu disuapi orangtuanya.
“Kalau minta makan dan minum hanya dengan isyarat tangisan. Tangannya
pun juga tak bisa memegang barang apa pun. Tubuhnya lemas. Mengangkat
kepala saja anak ini belum bisa. Sudah empat tahun ini saya asuh seperti
bayi,” keluh Paniyem sembari duduk di amben.
Ada dua buah amben tempat tidur yang terletak di ruang utama. Ruang
utama dan dapur hanya disekat dengan dinding gedek. Sukiyo hanya duduk
di amben satunya saat menerima para wartawan. Laki-laki satu-satu
tumpuan keluarga yang bekerja sebagai buruh tani. Untuk mengobati Septa,
Sukiyo sudah banyak merogoh koceknya.
Septa menurut Tenaga Kesejahteraan Sosial Kecamatan (TKSK) Tangen
termasuk salah satu penderita lumpuh layu. Lumpuhnya anak kelima dari
lima bersaudara ini bukan bawaan dari lahir. “Anak ini lahir normal.
Saat berumur lima bulan, Septa mengalami panas tinggi sampai
kejang-kejang. Kami langsung membawanya ke dokter di Sragen. Anak ini
langsung diinfus dan disuntik tiga kali sehari di bagian pantatnya.
Padahal baru berumur lima bulan,” kisah Paniyem.
Sepulangnya dari Sragen kondisi Septa memang tidak panas lagi. Tapi
lemas tak bertenaga dan kurus. Kaki kiri dan kananya pun tak sama. Kaki
kiri lebih pendek daripada kaki kanan. Septa hanya bisa duduk di kursi
roda bantuan Dinas Sosial Sragen saat bermain dengan kakaknya yang baru
duduk di bangku Kelas I SD. “Saya tidak tahu penyebab panasnya anak ini.
Saya sampai mengira penyebab lumpuhnya anak ini karena kebanyakan obat.
Tapi dari dokter pernah berkata, kalau pun anak ini sembuh tetap akan
cacat. Ternyata benar,” ujarnya.
Selama dua tahun terakhir, Septa mendapatkan bantuan dari Pemkab
Sragen senilai Rp10.000/hari atau Rp300.000/bulan. Bantuan sosial itu
diberikan dengan cara dirapel beberapa bulan tertentu, kadang tiga bulan
sekali, kadang empat bulan atau lima bulan sekali tidak tentu. “Bulan
ini saja belum turun. Mungkin bulan-bulan yang akan datang akan turun,”
imbuhnya.
Paniyem sedikit bisa membantu suaminya mencari nafkah keluarganya
ketika Septa ada yang menjaganya, yakni ketika anaknya yang keempat
pulang dari sekolah. Untuk menambah penghasilan, Sukiyo dan Paniyem
memelihara kambing.
Sumber : Solopos
JADILAH ORANG PERTAMA YANG MENGOMENTARI :
