“Balung Buto” Pembawa Berkah
Pariwisata, Utama 22.36Satu abad lebih yang lalu di sebuah desa di ujung barat selatan Kabupaten Sragen sering ditemukan Balung Buto. Balung merupakan bahasa Jawa yang berarti tulang dan Buto berarti raksasa. Masyarakat saat itu menyebutnya balung buto karena tulang-tulang yang telah membatu yang ditemukan mempunyai ukuran besar, tidak lazim untuk ukuran tulang tulang hewan atau manusia.
Konon, masyarakat Sangiran saat itu
dapat dengan mudah menemukan “Balung Buto”, baik saat mencangkul di
ladang atau ditemukan secara tidak sengaja di longsoran bukit. Mereka
percaya Balung Buto yang ditemukan mempunyai kekuatan magis. Kabar
tersebut kemudian menarik minat salah seorang ningrat yang bernama Raden
Saleh untuk mengkoleksi “Balung Buto” yang ditemukan warga. Hobby
koleksi benda-benda antik “Balung Buto” yang tak lain adalah fosil
Sangiran, akhirnya terdengar sampai ke lingkup teman-temannya yang
kebanyakan orang berkebangsaan Eropa.
Salah satu temannya ilmuwan Belanda yang
bernama Eugene Dubois, tertarik melakukan penelitian di Sangiran. Kabar
penelitian ini juga terdengan ke salah satu antropolog dari Jerman yang
bernama Gustav Heinrich Ralph von Koenigswald, yang kemudian juga
melakukan penelitian serupa.
Selama penelitian, Koeningswald tinggal
di dusun Krikilan selama 10 tahun. Selama itu ia banyak melakukan
eksplorasi terhadap fosil-fosil di sana. Selama itu pula ia banyak
berinteraksi dan bersosialisasi dengan masyarakat setempat. Sepak
terjang Koeningswald ini ternyata membawa pergeseran pandangan mistis
dan mitos yang berkembang di masyarakat Sangiran saat itu perihal
“Balung Buto”. Masyarakat akhirnya terbuka wawasannya bahwa mitos yang
berkembang saat itu adalah salah. lmuwan asal Jerman itu telah memberi
pemahaman baru kepada masyarakat Sangiran terkait keberadaan fosil dan
artefak purba.
Mitos yang berkembang saat itu, bahwa di
area Sangiran merupakan laga pertempuran antar raksasa. Dan “Balung
Buto” tersebut dianggap sebagai para raksasa yang gugur dimedan perang.
“Balung Buto” dianggap memiliki kekuatan magis. Selain berfungsi sebagai
sarana penyembuhan berbagai penyakit, pelindung diri atau sebagai
jimat, nilai magis balung buto juga dipercaya dapat membantu ibu-ibu
yang susah melahirkan.
Secara tidak langsung mitos saat itu
justru membawa manfaat yang besar bagi kelestarian peninggalan
fosil-fosil Sangiran. Kerena, pada kurun waktu sebelum 1930-an, balung
buto yang banyak banyak bermunculan di berbagai tempat di tepi sungai
dan di lereng-lereng perbukitan jarang diganggu oleh penduduk setempat.
Sehingga hal ini secara tidak langsung bisa menyelamatkan fosil Sangiran
dari perburuan benda benda antik.
Kini, setelah lebih dari 1 abad berlalu,
“Balung Buto” yang tak lain fosil-fosil Sangiran membawa berkah
tersendiri bagi penduduk setempat. Betapa tidak, Sangiran kini telah
dikenal bukan hanya di Indonesia tapi juga di seluruh dunia. Karena di
sana telah berdiri sebuah Musium Megah yang tak tenilai harganya, yang
telah terdaftar sebagai Situs Warisan Dunia di UNESCO.
Keberadaan Museum Sangiran juga
menggeliatkan masyarakat setempat secara ekonomi. Disekitar Desa
Krikilan banyak bermunculan pengrajin batu-batu alam yang bahan bakunya
dapat dengan mudah bisa didapatkan dari daerah setempat atau sekitarnya.
Endapan lumpur sisa letusan Gunung Lawu purba yang mengeras menjadi
batu, melalui tangan-tangan terampil warga di sekitar Sangiran dijadikan
aneka pahatan patung yang menyerupai fosil, perhiasan, dan aneka barang
kerajinan lainnya. Ada juga Watu Telo, yaitu umbi-umbian purba yang
sudah memfosil yang banyaknya ditemukan di areal persawahan warga.
JADILAH ORANG PERTAMA YANG MENGOMENTARI :
Dikirim oleh Unknown
pada 22.36.
dan Dikategorikan pada
Pariwisata,
Utama
.
Kamu dapat meninggalkan komentar atau pesan terkait berita / artikel diatas